Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
atau yang sering dikenal sebagai Ki
Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Beliau berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta.
Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan
rakyat. Setelah menyelesaikan ELS
(Sekolah Dasar Eropa/Belanda), beliau belajar di STOVIA, tetapi tidak
menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di
beberapa surat kabar, antara lain Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer,
dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Ki Hajar Dewantara aktif di bidang
politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara juga menjadi
anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan Indische Partij, Ki Hajar Dewantara diajaknya pula.
sendiri di Hindia
Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker. Ketika kemudian Douwes Dekker
mendirikan Indische
Partij, Ki
Hajar Dewantara diajaknya pula.
Ki
Hajar Dewantara juga ikut membidani terbentuknya Komite Bumiputra di tahun 1913
sebagai bentuk protes terhadap rencana Belanda memperingati kemerdekaannya dari
Perancis dengan uang rakyat Indonesia. Ia kemudian menulis "Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya
Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat kabar De Expres,
13 Juli 1913. Kutipan kolom tersebut adalah:
"Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan
perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula
kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibatnya, Belanda pun langsung
menjatuhkan hukuman pengasingan. Bersama Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesomo, beliau dibuang ke Belanda. Dalam pengasingan di Belanda, beliau
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia). Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Semboyan
dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di
depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan").
Berkat
jasanya yang besar di bidang pendidikan maka pemerintah menetapkan beliau
sebagai Bapak Pendidikan dan tanggal lahirnya, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Pada tahun 1957, beliau mendapat gelar Doctor Honoris Causa (doktor
kehormatan) dari Universitas Gadjah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar
tersebut, beliau meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan
dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
(Sephira Audrey)
0 komentar:
Posting Komentar