Rabu, 11 Maret 2015

Ki Hajar Dewantara



            Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang sering dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Beliau berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan rakyat. Setelah menyelesaikan  ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda), beliau belajar di STOVIA, tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.


Ki Hajar Dewantara aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan Indische Partij, Ki Hajar Dewantara diajaknya pula.
sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker. Ketika kemudian Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, Ki Hajar Dewantara diajaknya pula.
 




Ki Hajar Dewantara juga ikut membidani terbentuknya Komite Bumiputra di tahun 1913 sebagai bentuk protes terhadap rencana Belanda memperingati kemerdekaannya dari Perancis dengan uang rakyat Indonesia. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres,  13 Juli 1913. Kutipan kolom tersebut adalah:


            "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".


            Akibatnya, Belanda pun langsung menjatuhkan hukuman pengasingan. Bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesomo, beliau dibuang ke Belanda. Dalam pengasingan di Belanda, beliau aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.

            Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan").


            Berkat jasanya yang besar di bidang pendidikan maka pemerintah menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan dan tanggal lahirnya, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun 1957, beliau mendapat gelar Doctor Honoris Causa (doktor kehormatan) dari Universitas Gadjah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut, beliau meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.


(Sephira Audrey)

0 komentar:

Posting Komentar